Rabu, 09 Desember 2009

Shollu 'alan Nabiy

Oleh KH. Rahmat Abdullah

Apa yang Tuan fikirkan tentang seorang laki-laki berperangai amat mulia, yang lahir dan dibesarkan di celah-celah kematian demi kematian orang-orang yang amat mengasihinya? Lahir dari rahim sejarah, ketika tak seorangpun mampu mengguratkan kepribadian selain kepribadiannya sendiri. la produk ta'dib Rabbani (didikan Tuhan) yang menantang mentari dalam panasnya dan menggetarkan jutaan bibir dengan sebutan namanya, saat muaddzin mengumandangkan suara adzan. Di rumahnya tak dijumpai perabot mahal. la makan di lantai seperti budak, padahal raja - raja dunia iri terhadap kekokohan struktur masyarakat dan kesetiaan pengikutnya. Tak seorang pembantunya pun mengeluh pernah dipukul atau dikejutkan oleh pukulannya terhadap benda - benda di rumah.

Dalam kesibukannya ia masih bertandang ke rumah puteri dan menantu tercintanya, Fathimah Azzahra dan Ali bin Abi Thalib. Fathimah merasakan kasih sayangnya tanpa membuatnya jadi manja dan hilang kemandirian. Saat Bani Makhzum memintanya membatalkan eksekusi atas jenayah seorang perempuan bangsawan, ia menegaskan; "Sesungguhnya yang membuat binasa orang - orang sebelum kamu ialah, apabila seorang bangsawan mencuri mereka biarkan dia dan apabila yang mencuri itu seorang jelata mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, maka Muhammad tetap akan memotong tangannya." Hari-harinya penuh kerja dan intaian bahaya. Tapi tak menghalanginya untuk - lebih dari satu dua kali - berlomba jalan dengan Humaira, sebutan kesayangan yang ia berikan untuk Aisyah bintu Abu Bakar Assidiq. Lambang kecintaan, paduan kecerdasan dan pesona diri dijalin dengan hormat dan kasih kepada Asshiddiq, sesuai dengan namanya "si Benar". Suatu kewajaran yang menakjubkan ketika dalam sibuknya ia masih menyempatkan memerah susu domba atau menambal pakaian yang koyak. Setiap kali para sahabat atau keluarganya memanggil ia menjawab: "Labbaik". Dialah yang terbaik dengan prestasi besar di luar rumah, namun tetap prima da­lam status dan kualitasnya sebagai "orang rumah". Di bawah pimpinannya, laki-laki menemukan jati dirinya sebagai laki-laki dan pada saat yang sama perempuan mendapatkan kedudukan amat mulia. "Sebaik-baik kamu ialah yang terbaik terhadap keluarganya dan akulah orang terbaik diantara kamu terhadap keluargaku." "Tak akan memuliakan perempuan kecuali seorang mulia dan tak akan menghina perempuan kecuali seorang hina,”demikian pesannya.

Di sela 27 kali pertempuran yang digelutinya langsung (ghazwah) atau dipanglimai sahabat-nya (sariyah) sebanyak 35 kali, ia masih sempat mengajar Alqur’an, sunnah, hukum, peradilan, kepemimpinan, menerima delegasi asing, mendidik kerumahtanggaan bahkan hubungan yang paling khusus dalam keluarga tanpa kehilangan adab dan wibawa. Padahal, masa antara dua pertempuran itu tak lebih dari 1,7 bulan. Setiap kisah yang dicatat dalam hari - harinya selalu bernilai sejarah. Suatu hari datanglah ke masjid seorang Arab gunung yang belum mengerti adab di masjid. Tiba - tiba ia kencing di lantai masjid yang berbahan pasir. Para sahabat sangat murka dan hampir saja memukulnya. Sabdanya kepada mereka: "Jangan. Biarkan ia menyelesaikan hajatnya." Sang Badui terkagum, ia mengangkat tangannya, Ya Allah, kasihilah aku dan Muhammad. Jangan kasihi seorangpun bersama kami." Dengan senyum ditegurnya Badui tadi agar jangan mempersempit rahmat Allah. la kerap bercengkerama dengan para sahabatnya, bergaul dekat, bermain dengan anak-anak, bahkan memangku balita mereka di pangkuannya. la terima undangan mereka; yang merdeka, budak laki-laki atau budak perempuan, serta kaum miskin. la jenguk rakyat yang sakit jauh di ujung Madinah. la terima permohonan maaf orang. la selalu lebih dulu memulai salam dan menjabat tangan siapa yang menjumpainya dan tak pernah menarik tangan itu sebelum sahabat tersebut yang menariknya. Tak pernah menjulurkan kaki di tengah sahabatnya hingga menyempitkan ruang bagi mereka.

la muliakan siapa yang datang, kadang dengan membentangkan bajunya. Bahkan ia berikan alas duduk-nya dan dengan sungguh-sungguh. la panggil mereka dengan nama yang paling mereka sukai. la beri mereka kuniyah (sebutan bapak atau ibu si Fulan). Tak pernah ia memotong pembicaraan orang, kecuali sudah berlebihan. Apabila seseorang mendekatinya saat ia shalat, ia cepat selesaikan shalatnya dan segera bertanya apa yang diinginkan orang itu. Pada suatu hari dalam perkemahan tempur ia berkata: "Seandainya ada seorang saleh mau mengawalku malam ini. Dengan kesadaran dan cinta, beberapa sahabat mengawal kemahnya. Di tengah malam terdengar suara gaduh yang mencurigakan. Para sahabat bergegas ke sumber suara. Ternyata ia telah ada disana mendahului mereka, tegak diatas kuda tanpa pelana, "Tenang, hanya angin gurun”hibumya. Nyatalah bahwa keinginan ada pengawal itu bukan karena ketakutan atau pemanjaan diri, tetapi pendidikan disiplin dan loyalitas. Ummul Mukminin Aisyah Ra. berkata: "Rasulullah SAW wafat tanpa meninggalkan makanan apapun yang bisa dimakan makhluk hidup, selain setengah ikat gandum di penyimpananku. Saat ruhnya dijemput, baju besinya masih digadaikan kepada seorang Yahudi untuk harga 30 gantang gandum." Sungguh ia berangkat haji dengan kendaraan yang sangat sederhana dan pakaian tak lebih harganya dari 4 dirham, seraya berkata, "Ya Allah, jadikanlah ini haji yang tak mengandung riya dan sum'ah."

Pada kemenangan besar saat Makkah ditaklukkan, dengan sejumlah besar pasukan muslimin, ia menundukkan kepala, nyaris menyentuh punggung untanya sambil selalu mengulang-ulang tasbih, tahmid dan istighfar. la tidak mabuk kemenangan. Betapapun sulitnya mencari batas bentangan samudera kemuliaan ini, namun beberapa kalimat ini membuat kita pantas menyesal tidak mencintainya atau tak menggerakkan bibir mengucapkan shalawat atasnya: "Semua nabi mendapatkan hak untuk mengangkat do'a yang takkan ditolak dan aku menyimpannya untuk ummatku kelak di padang mahsyar nanti." Ketika masyarakat Thaif menolak dan menghinakannya, malaikat penjaga bukit menawarkan untuk menghimpit mereka dengan bu­kit. la menolak, "Kalau tidak me­reka, aku berharap keturunan di sulbi mereka kelak akan mene­rima dawah ini, mengabdi kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun."

Mungkin dua kata kunci ini menjadi gambaran kebesaran jiwanya. Pertama, Allah, Sumber kekuatan yang Maha dahsyat, kepada-Nya ia begitu refleks menumpahkan semua keluhannya. Ini membuatnya amat tabah menerima segala resiko perjuangan; kerabat yang menjauh, sahabat yang membenci, dan khalayak yang mengusirnya dari negeri tercinta. Kedua, Ummati, hamparan akal, nafsu dan perilaku yang menantang untuk dibongkar, dipasang, diperbaiki, ditingkatkan dan diukirnya. Ya, Ummati, tak cukupkah semua keutamaan ini menggetarkan hatimu dengan cinta, menggerakkan tubuhmu dengan sunnah dan uswah serta mulutmu dengan ucapan shalawat? Allah tidak mencukupkan pernyataan-Nya bah­wa la dan para malaikat bershalawat atasnya (QS. 33 : 56), justru la nyatakan dengan begitu "vulgar" perintah tersebut, "Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah atasnya dan bersalamlah dengan sebenar-benar salam." Allahumma shalli 'alahi wa'ala aalih!

Sumber : Tarbawi Edisi 3 Th. I 31 Agustus 1999 M/19 Jumadil Awal 1420 H

Keberanian


Oleh HM. Anis Matta Lc.

Saudara yang paling dekat dari naluri kepahlawan adalah keberanian. Pahlawan sejati selalu merupakan seorang pemberani sejati. Tidak akan pernah seseorang disebut pahlawan jika ia tidak pernah membuktikan keberaniannya. Pekerjaan-pekerjaan besar atau tantangan-tantangan besar dalam sejarah selalu membutuhkan kadar keberanian yang sama besarnya dengan pekerjaan dan tantangan itu. Karena pekerjaan dan tantangan besar itu selalu menyimpan risiko. Dan, tak ada keberanian tanpa risiko.

Naluri kepahlawan adalah akar dari pohon kepahlawanan. Tapi keberanian adalah batang yang menegakkannya. Keberanian adalah kekuatan yang tersimpan dalam kehendak jiwa, yang mendorong seseorang untuk maju menunaikan tugas — tindakan atau perkataan-^- demi kebenaran dan kebaikan, atau untuk mencegah suatu keburukan, dan dengan menyadari sepenuhnya semua kemungkinan risiko yang akan diterimanya.

Cobalah perhatikan ayat-ayat jihad dalam AI-Qur’an. Perintah ini hanya dapat terlaksana di tangan para pemberani. Dan cobalah perhatikan betapa AI-Qur’an memuji ketegaran dalam perang, membenci para pengecut dan orang-orang yang takut pada risiko kematian. Apakah yang dapat kita pahami dari hadits riwayat Muslim ini: "Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan pedang?" selain dari betapa kuatnya keberanian mendekatkan kita ke surga? Maka dengarlah pesan Abu bakar kepada tentara-tentara Islam yang akan berperang: "Carilah kematian niscaya kalian akan mendapatkan kehidupan."

Sebagian dari keberanian itu adalah fitrah yang tertanam dalam diri seseorang. Sebagian yang lain biasanya diperoleh melalui latihan. Keberanian fitrah maupun perolehan melalui latihan, selalu mendapatkan pijakan kuat pada kekuatan kebenaran dan kebajikan, keyakinan dan cinta yang kuat terhadap prinsip dan jalan hidup, kepercayaan pada hari akhirat, serta kerinduan yang menderu-deru untuk bertemu Allah. Semua itu adalah mata air yang mengalirkan keberanian dalam jiwa seorang mukmin. Bahkan, meski kondisi fisiknya tak terlalu mendukungya, seperti jenis keberanian Ibnu Mas'ud dan Abu Bakar. Tapi menjadi lebih berani dengan dukungan fisik, seperti keberanian Umar, Ali, dan Khalid.

Tapi Islam hendak memadukan antara keberanian fitrah dan keberanian iman. Maka beruntunlah ajaran-ajarannya menyuruh umatnya melatih anak-anak untuk berenang, berkuda, dan memanah. Dengarlah sabda Rasulullah SAW, "Ajarilah anakmu berenang sebelum menulis. Karena ia bisa diganti orang lain jika ia tak pandai menulis, tapi ia tidak dapat diganti orang lain jika tak mampu berenang." Dengar lagi sabdanya, "Kekuatan itu pada memanah, kekuatan itu pada memanah, kekuatan itu pada me¬manah." Itu semua sekelompok keterampilan fisik yang mendukung munculnya keberanian fitrah. Tinggal lagi keberanian iman. Maka dengarlah nasehat Umar, "Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani."

Kepada orang-orang Romawi yang berlindung di balik benteng di Kinnasrin, Khalid berkata, "Andaikata kalian bersembunyi di langit, niscaya kuda-kuda kami akan memanjat langit untuk membunuh kalian. Andaikata kalian berada di perut bumi, niscaya kami akan menyelami bumi untuk membunuh kalian." Dan, roh keberanian itu memadai untuk mematikan semangat perlawanan orang-orang Romawi. Mereka takluk. Mungkinkah kita mendengar ungkapan itu lagi hari ini?


Sumber : Tarbawi Edisi 3 Th. I 31 Agustus 1999 M/19 Jumadil Awal 1420 H

Kamis, 03 Desember 2009

KETERANGAN DAN RAHASIA TENTANG TIDAK DITUNJUKNYA PENGGANTI RASULULLAH

Al Bazzar dalam musnadnya berkata, “ Abdullah bin Wadhdhah Al Kufi berkata kepada kami, Yahya bin Al Yamani berkata kepada kami dari Abi Al Yaqzhan dari Abi Wail dari Hudzaifah berkata,” Para sahabat bertanya, “ Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menunjuk pengganti yang memimpin kami sepeninggalmu nanti?” Rasulullah berkata,”Sesungguhnya jika aku menunjuk penggantiku, aku khawatir kalian akan menentang penggantiku itu dan Allah akan menurunkan azab atas kalian.” ( HR.Al Hakim dalam Al Mustadrak, tetapi Abu Al Yaqzhan haditsnya lemah ).

Imam Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Umar bin Khaththab bahwa tatkala dia berada diatas pembaringannya setelah ditusuk oleh Abu Lu’luah; “ Jika saya menentukan penggantiku, maka telah ada orang yang lebih baik dari aku yang melakukan itu ( maksudnya Abu Bakar ). Dan jika aku tidak menentukan penggantiku, maka itu pun telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dari diriku ( maksudnya Rasulullah ).”

Imam Ahmad, dan juga Imam Al Baihaqi dalam kitab Dalail An Nubuwwah dengan sanad yang hasan dari Amr bin Sufyan dia berkata, “ Tatkala Ali memenangkan perang Jamal, dia berkata, “ Wahai sekalian manusia , sesungguhnya kami dahulu tidak menunjuk seorang pun dalam masalah kepemimpinan ini hingga kami sepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Dia menunaikan kekhalifahan itu dengan jujur dan lurus hingga menemui ajalnya. Kemudia Abu Bakar menunjuk Umar sebagai penggantinya. Lalu Umar menunaikan kekhalifahan itu dengan jujur dan sangat baik dalam agamanya. Namun kemudian muncul berbagai masalah yang Allah tentukan.”

Al Hakim meriwayatkan di dalam Al Mustadrak dan dinyatakan shahih oleh Imam Al Baihaqi dalam Dalail An Nubuwwah dari Abi Wail dia berkata : dikatakan kepada Ali,” Tidakkah engkau tentukan pengganti yang memimpin kami?” Dia menjawab,” Rasulullah tidak menentukan penggantinya atas kami. Namun jika Allah menginginkan kebaikan, niscaya dia akan menghimpun manusia kepada orang terbaik diantara mereka, sebagaimana dia telah kumpulkan perkara ini kepada orang terbaik setelah nabi mereka.”

Adz Dzahabi berkata,” Ada kebatilan – kebatilan yang datang dari kalangan Rafidhah yang menyatakan bahwa Rasulullah mewasiatkan kepada Ali untuk menjadi penggantinya. Mengenai hal ini, Hudzail bin Syarahbil berkata,” Apakah dengan demikian Abu Bakar melakukan konspirasi kepada Ali, sebab Abu Bakar mengetahui tentang adanya wasiat itu pada Ali lalu dia sumpal mulutnya dengan tali kekang?” ( HR. Ibnu Sa’ad dan Al Baihaqi dalam Dalail)

Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Al Hasan, dia berkata, Ali berkata. “ Tatkala Rasulullah wafat kita melihat bagaimana yang harus kita lakukan setelah meninggalnya Rasulullah. Setelah kami memandang dengan seksama maka kami dapatkan Rasulullah telah mengutamakan Abu Bakar untuk menjadi imam shalat sebagai pengantinya. Makanya kami rela menyerahkan urursan dunia kami kepada orang yang Rasulullah sendiri rela menyerahkan urusan agama kami kepadanya. Lalu kami majukan Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah.”

Imam Al Bukhari dalam buku tarikhnya menyatakan : diriwayatkan dari Ibnu Jamhan dari Safinah bahwa Rasulullah berkata mengenai Abu Bakar, Umar dan Utsman :

“ Mereka adalah para khalifah setelah aku.”

Imam Bukhari menyatakan : namun hadits ini tidak bisa diikuti karena Umar, Ali dan Utsman mengatakan bahwa Rasulullah tidak menentukan penggantinya setelah wafatnya. Hadits yang disebutkan diatas diriwayatkan oleh Ibnu Hibban. Dia berkata, telah berkata kepada kami Abu Ya’la, telah berkata kepada kami Yahya Al Jamani, telah berkata kepada kami Hasyraj dari Said bin Jamhan dari Safinah dia berkata, tatkala Rasulullah membangun masjid, beliau meletakkan satu batu dalam bangunan masjid itu. Beliau berkata kepada Abu Bakar,” Letakkan batumu disamping batuku tadi.” Kemudian baliau berkata kepada Umar,” Letakkan batumu disamping batu Abu Bakar.” Selanjutnya beliau berkata kepada Utsman, “ Letakkan batumu disamping batu Umar.” Kemudian Rasulullah berkata:

“ Mereka adalah para khalifah setelah aku.”

Abu Zur’ah berkata, isnad hadits ini tidak ada yang tercela. Hadits ini juga diriwayatkan Al Hakim dalam kitabnya Al Mustadrak, yang dinyatakan keshahihannya oleh Imam Al Baihaqi dalam Ad Dalail.

Saya katakan bahwa tidak ada yang bertentangan antara apa yang dinyatakan Rasulullah dengan apa yang dikatakan oleh Umar dan Ali bahwa Rasulullah tidak menentukan penggantinya. Karena yang dimaksud oleh keduanya adalah bahwa Rasulullah saat wafatnya tidak menunjuk siapa penggantinya. Sedangkan isyarat Rasulullah yang disebutkan dalam hadits terungkap jauh – jauh sebelum wafat beliau. Ini sama dengan hadits Rasulullah dalam hadits yang lain:

“ Hendaknya kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelah aku.” ( HR.Al Hakim dari hadits Al Irbadh bin Sariyah )

Dan sebagaimana juga sabdanya :

“ Ikutilah jejak langkah dua orang setelah wafatku, Abu Bakar dan Umar.”

Dan masih banyak lagi hadits – hadits lain yang mengisyaratkan pada khalifah.


Sumber : Buku Tarikh Khulafa’, Karya Imam As Suyuti Penerbit : Pustaka Al Kautsar
 

ShoutMix chat widget

[close]